Minggu, 19 Januari 2014

Benarkah Menguap itu Menular?




Saat mendengarkan mata kuliah yang sangat membosankan atau yang tidak dimengeri, mata seakan-akan secara otomatis ingin terpejam. Hal seperti ini biasa disebut mengantuk. Ciri2 orang yang mengantuk tidak hanya bisa diliat dari matanya, melainkan juga dari gerak-geriknya, yaitu sering menguap. Sering sekali ketika saya secara tidak sengaja melihat pada seseorang yang sedang menguap, beberapa detik kemudian malah saya ikut menguap juga, begitu juga sebaliknya. Banyak orang mengatakan bahwa menguap memang menular. Tapi benarkah itu? Apakah kejadian seperti ini bisa dijelaskan secara ilmiah? Beginilah jawabannya.
Sebuah kelompok di Finlandia mencoba menelusuri jawabannya melalui sebuah studi. Studi tersebut menyatakan bahwa ternyata di dalam otak terdapat sirkuit yang menganalisis dan memerintah kita untuk mengikuti gerakan orang lain. Sirkuit ini disebut sebagai "sistem neuron cermin" atau mirror-neuron system karena mengandung jenis khusus dari sel-sel otak atau neuron, yang menjadi aktif ketika pemiliknya melakukan sesuatu dan merasakan orang lain melakukan hal yang sama. Cermin neuron menjadi aktif ketika seseorang meniru tindakan orang lain. Proses ini mirip dengan proses belajar. Namun belakangan, peran sistem ini terhadap penularan proses menguap mulai diragukan. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa sistem ini  tidak tampak bekerja pada saat terjadinya menguap yang menular ini.

Sejak saat itu, teori-teori lain juga dikemukakan. Ada yang menyebutkan bahwa penularan tersebut diperantarai oleh bagian otak yang disebut sulkus temporal superior, ada pula yang mengatakan karena penularan terjadi karena deaktivasi periamigdala, suatu bagian di dalam otak. Namun seluruh teori ini juga belum dapat dibuktikan kebenarannya.

Belakangan ini, sebuah studi lain di tahun 2007 mengemukakan bahwa anak dengan gangguan autism tidak mengalami peningkatan frekuensi menguap setelah melihat video orang-orang yang menguap. Hasil ini berkebalikan dengan hasil anak lain yang normal. Dari studi ini, mereka menyimpulkan bahwa penularan menguap disebabkan oleh empati.

Hal ini juga didukung oleh penelitian lain. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnalĂ‚ Cognitive Brain Research oleh Steven Platek, PhD, psikolog dari State University of New York di Albania, menyebutkan bahwa penularan menguap merupakan respons empatetik, sama halnya seperti tertawa. Artinya, menguap menjadi cara dalam menunjukkan empati kita terhadap perasaan orang lain. "Menguap tidak hanya bisa dipicu setelah melihat orang lain menguap, tetapi juga mendengarkan, membaca, atau bahkan berpikir tentang menguap,” kata Platek, yang memimpin penelitian tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar